Habib Umar bin Hafidz, ulama Tarim yang terkenal di Indonesia, menjadi sorotan karena dituduh membiarkan perbuatan syirik. Seorang pemuda berani bertanya mengapa Habib Umar membiarkan murid-muridnya menundukkan badan dan mencium tangan beliau. Pemuda itu menuduh bahwa itu adalah perbuatan syirik. Namun, Habib Umar dengan bijaksana menjawab pertanyaan tersebut.

Habib Umar hanya diam ketika pemuda itu mengajukan pertanyaan tersebut. Pemuda itu kemudian melanjutkan tuduhannya, bahwa Habib Umar seolah-olah membuat murid-muridnya menyembah sesama makhluk dan menunduk kepada makhluk adalah perbuatan syirik. Namun, Habib Umar tetap diam.

Setelah itu, Habib Umar memanggil pemuda tersebut dan mendekatinya. Beliau mengambil pena dari saku baju pemuda itu dan menjatuhkannya ke bawah. Ketika pemuda itu menundukkan kepala dan badannya untuk mengambil pena tersebut, Habib Umar menahannya. Beliau bertanya mengapa pemuda itu menundukkan kepala dan badannya, padahal menunduk kepada makhluk adalah bathil.

Pemuda itu menjawab bahwa ia hanya ingin mengambil penanya yang jatuh ke bawah. Habib Umar kemudian memberi pemuda itu hikmah bijak. Beliau mengibaratkan dirinya dengan pena. Seorang pencari ilmu tidak akan mendapatkan ilmu jika tidak memiliki pena. Begitu juga dengan murid-muridnya, mereka menghargai dan menghormati Habib Umar bukan atas permintaan beliau. Habib Umar tidak pernah memaksa atau menyuruh mereka mencium tangannya. Namun, pemuda tersebut harus mengerti bahwa seorang pencari ilmu tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat jika tidak menghormati gurunya.