Dalam tradisi Islam, Nabi Khidir AS dianggap sebagai sosok yang memiliki keistimewaan dan mukjizat yang luar biasa. Salah satu mukjizat yang sering dikaitkan dengannya adalah kemampuannya untuk berubah wujud atau bentuk fisiknya. Dan salah satu sosok berpengaruh di Indonesia yang konon pernah ditemui Nabi Khidir AS adalah KH Hasyim Asy'ari, sosok ulama luar biasa, pendiri NU.

Alhasil, saat bertemu Kiai Hasyim saat masih muda pun, wujudnya tidak dikenali. Perlu diketahui, KH Hasyim Asy'ari adalah santri Syaikhona Kholil atau yang populer dikenal dengan Mbah Kholil Bangkalan. Peristiwa itu juga terjadi di depan Mbah Kholil, mahaguru ulama nusantara.

Kemampuan mengubah wujud Nabi Khidir AS sering disebutkan dalam berbagai kisah dan legenda Islam yang melibatkan Nabi Khidir AS, termasuk dalam cerita perjalanannya bersama Nabi Musa AS. Dalam beberapa kisah, dia muncul sebagai seorang tua bijaksana, sementara dalam yang lain, dia bisa berubah menjadi sosok yang lebih muda atau bahkan berwujud lainnya. Kemampuan untuk berubah wujud ini sering dianggap sebagai tanda kebesaran dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Khidir AS.

Pada suatu malam, di pelataran rumah Syaikhona Kholil Bangkalan, ada seorang kakek sepuh yang lumpuh dan berjalan dengan cara ngesot. Syaikhona Kholil Bangkalan merupakan salah satu ulama besar di masanya. Saat melihatnya, Syaikhona berkata kepada para santri, 'Siapa yang bersedia menggendongnya?' Salah seorang santri menjawab dengan bersedia. Santri itu pun menggendong kakek lumpuh tersebut, dan ketika sampai di depan pintu rumah Syaikhona, beliau langsung menyambutnya dengan penuh hormat dan takdzim pada tamu sepuh itu.

Setelah berbincang-bincang, Syaikhona meminta muridnya untuk menggendong orang tua tadi dan digendong kembali oleh santri yang sama, sampai ke depan pintu. Kemudian Syaikhona berkata kepada para santri, 'Saksikanlah sesungguhnya ilmu-ilmuku sudah dibawa oleh dia!' Barulah diketahui bahwa tamu sepuh dan lumpuh tersebut adalah Nabi Khidir AS, sedangkan santri yang menggendongnya adalah Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, yang di kemudian hari menjadi Rais Akbar Nahdhatul Ulama (NU).