Dalam Islam, ada sekelompok orang yang anti pati terhadap musik, baik mendengarkan maupun menyanyikannya. Musik bagi mereka merupakan sumber dari kelalaian. Namun faktanya, kelalaian bisa datang dari mana saja, tidak selalu dari musik.

Dalam KBBI, ada dua makna musik. Pertama, ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan; Kedua, nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan.

Patrick G. Hunter dan E. Glenn Schellenberg dalam tulisan mereka yang berjudul ‘Music and Emotion’ menjelaskan bahwa ada kaitan erat antara musik dan emosi pendengarnya. Menurut mereka, ketika mendengar musik, rata-rata pendengar akan merespons secara afektif (Patrick G. Hunter dan E. Glenn Schellenberg, Music and Emotion, [Mississauga: University of Toronto, 2010], hal. 129).

Sebagai buktinya, dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa musik dapat meningkatkan konsentrasi para pelajar. Dampak positif lainnya selain peningkatan konsentrasi, musik juga dapat membantu pengelolaan emosi yang baik (Purnama Sari, dkk, Peran Musik dalam Meningkatkan Konsentrasi, [Jurnal Pendidikan Tambusai, 2023], hal. 29651).

Selain dampak yang positif, musik pun memiliki dampak yang negatif. Musik dengan lirik kekerasan dan unsur-unsur agresivitas dapat mendorong tindakan anarki dan agresif terhadap pendengarnya. Lirik musik yang berisi penggunaan alkohol, minum-minuman keras, boleh jadi memotivasi pendengarnya dan menjerumuskannya dalam aktivitas negatif tersebut (Craig A. Anderson dan Nicholas L. Carnagey, Exposure to Violent Media: The Effects of Songs With Violent Lyrics on Aggressive Thoughts and Feelings, [American Psychological Association, 2003], hal. 960).

Tampaknya dari beberapa penelitian di atas, musik merupakan media yang dapat membawa energi positif maupun negatif. Dengan demikian, hukum mendengar musik pun dispesifikasi oleh para ulama sesuai dengan substansi liriknya.

Apabila kita merujuk kepada hadits Rasulullah saw pun demikian adanya. Ada sisi emosional yang terkandung dalam sebuah syair atau lagu. Rasulullah saw bersabda:

إن من البيان لسحرا

Artinya: “Sesungguhnya sebagian penjelasan (tutur kata) itu sungguh mengandung efek layaknya sihir.” (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud).

Hadits di atas dilatarbelakangi dengan datangnya dua orang dari timur pada zaman Rasulullah. Merekapun berpidato hingga membuat orang-orang yang mendengarnya takjub. Mendengar hal tersebut, Rasulullah menanggapi bahwa substansi suatu perkataan yang diutarakan dengan susunan kata yang baik dan indah adalah layaknya sihir (Ibnul Atsir, Jami’ul Ushul, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1969], jilid XI, hal. 733).

Terkait kualitas, sudah tentu hadits di atas merupakan hadits yang shahih sebab terdapat dalam Shahih al-Bukhari dalam bab ath-thib. Selain al-Bukhari, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, Malik juga meriwayatkan hadits di atas dalam al-Muwattha.

Adapun tafsirannya, para ulama ahli interpretasi memaparkan hadits di atas dengan beragam makna. Misalnya saja, Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abu Dawud memaknainya sebagai kemampuan seseorang dalam menyusun kata-kata bisa jadi mempengaruhi banyak orang, sehingga orang-orang yang mendengar kata tersebut layaknya tersihir (Ibnur Ruslan Ar-Ramli, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid XIX, hal. 176).

Penjelasan Ibnur Ruslan memang sesuai dengan fakta, bahwa kata-kata yang disampaikan dengan retoris akan memengaruhi emosi pendengarnya. Hal ini serupa dengan lagu dan musik, di mana pengaruh emosional bisa diperoleh melalui model dari instrumen serta substansi lirik yang terkandung di dalamnya.

Selain model penafsiran seperti di atas, Al-Munawi dalam Faydhul Qadir lebih cenderung mengangkat isu hukum dalam analogi interpretasi teks hadits di atas. Menurutnya, sebagaimana sihir dapat mendatangkan dosa, maka sebagian kata-kata retoris yang manipulatif juga dapat mendatangkan dosa (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid X, hal. 279).

Fokus kepada justifikasi al-Munawi terhadap substansi kata-kata yang retoris yang mendatangkan dosa hanyalah sebagian, artinya tidak semua. Sehingga dalam hal lagu maupun musik, ada beberapa yang justru positif jika didengarkan.

Jika lagu atau musik dinyatakan sebagai faktor yang membuat seorang Muslim lalai dari kewajiban, maka ada juga ulama yang menafsirkan hadits di atas, bahwa susunan kata-kata yang membuat pendengarnya seolah tersihir dapat membuatnya lupa dan lalai akan hal-hal lain, termasuk kewajibannya. Pendapat tersebut disampaikan al-Fayumi dan dikutip oleh al-Wallawi dalam al-Bahrul Muhith. (Al-Wallawi, Al-Bahrul Muhith, [Kairo: Dar Ibn Jawzi, 1436], jilid III, hal. 39).

Kajian hadits mengenai musik dan pengaruhnya terhadap emosi menunjukkan bahwa musik memiliki kemampuan untuk memberikan dampak positif dan negatif pada pendengarnya. Dalam konteks hadits Rasulullah saw yang telah dipaparkan di atas, jelas bahwa kata-kata yang retoris dapat mempengaruhi emosi pendengar, serupa dengan pengaruh musik.

Perbedaan tafsiran ulama atas hadits tersebut mencerminkan bahwa pengaruh kata-kata yang retoris layaknya lirik lagu bergantung pada substansi dan juga penyajiannya. Oleh karena itu, hukum mendengar musik dalam Islam dapat bervariasi tergantung pada isi lirik dan dampaknya terhadap individu, baik positif maupun negatif. Wallahu a’lam

Ustadz Amien Nurhakim, Penulis Keislaman dan Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas PTIQ Jakarta