Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat yang menganut agama yang berbeda-beda. Namun meski memiliki keberbedaan, nyatanya jarang sekali terjadi kisruh karena perbeda keyakinan.

Di Jember yang terkenal sebagai Kota Santri ternyata memiliki sebuah desa yang unik. Sebab Kota Santri identik dengan kota yang memiliki banyak pondok pesantren, namun di Desa Rejoagung, Jember, Jawa Timur, penduduknya beragama kristen.

Arti nama Rejoagung

Sumber: Facebook Lily Anton-huang


Nama Rejoagung sendiri jika diartikan dalam bahasa jawa maka akan berarti Rejo=ramai, dan Agung=banyak air.

Jika menurut catatan sejarah desa, Rejoagung awalnya merupakan hutan yang kerap mengalami banjir karena letaknya berada di Tanggul Selatan.

Awal mula Desa Rejoagung

Sumber: Facebook Anis


Desa Rejoagung adalah daerah yang tidak memiliki penduduk asli karena pendirinya juga merupakan pendatang dari daerah Kertorejo dan Bongsorejo yang berada di daerah Mojowarno.

Rejoagung sendiri dirintis untuk menjadi pemukiman oleh Marwi Kertawirya bersama dengan 6 kepala keluarga lain pada tahun 1907 silam.

Gereja Kristen Jawi Wetan

Sumber: Facebook Pirenaningtyas


Pada 1912 setelah bertembahnya penduduk Desa Rejoagung, berdirilah Gereja Kristen Jawi Wetan. Pada saat itu, jumlah jemaatnya masih sekitar 22 kepala keluarga. Hadirnya gereja tersebut juga untuk menunjung tinggi rasa toleransi lintas agama.

Toleransi

Sumber: Facebook Kukuh Joko


Meski desa tersebut dihuni oleh warga yang sebagian besar menganut agama Kristen apalagi berada di tengah Jember yang dikenal sebagai Kota Santri, ternyata penduduknya sangat nyaman dan damai. Hal tersebut dikarenakan penduduknya menjunjung tinggi rasa toleransi beragama, meski berbeda keyakinan, namun tetap se bangsa dan se negara.

Kini Desa Rejoagung tidak hanya dihuni oleh warga yang beragama Kristen saja, namun juga warga yang beragama Islam yang tetap rukun dan hidup berdampingan.

Rasa toleransi yang tinggi di Desa Rejoagung, Jember, bisa dibuktikan dengan kerapnya Gereja Kristen Jawi Wetan digunakan untuk merawat toleransi, seperti pertemuan GUSDURian dan Peace Leader pada 2 Februari 2021 lalu.