Sosoknya menjadi ulama yang begitu disegani dengan keilmuan dan ilmu agama yang mumpuni. Dia juga salah satu pendiri pondok pesantren terkenal di Rembang Jawa Tengah, yakni pondok Roudlutut Thalibin. Dia adalah KH Cholil Bisri atau akrab disapa Kiai Cholil.
Selain sebagai ulama ia juga dikenal sebagai politisi dan juga seorang penulis yang handal. Ayahnya bernama KH Bisri Musthofa, penulis produktif dan pengarang tafsir terkenal, al-Ibriz, dalam bahasa Jawa. Adiknya bernama KH Mustofa Bisri, seorang penyair, budayawan, kiai, dan penulis produktif.
Kiai Cholil pun juga aktif di berbagai kegiatan dan kepengurusan organiasai. Dalam organisasi, Kiain Cholil berkiprah di lingkungan NU. Dimulai ketika ia aktif sebagai Ketua GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP).
1. Kecimpung dalam Politik
Ia juga pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP Jawa Tengah. Pada awalnya Cholil tidak berkecimpung di partai politik. Sampai suatu ketika Kiai Ali Maksum menegurnya di Munas Alim Ulama Kaliurang Yogyakarta, “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu, Mustofa, kenapa?”.
Pada akhirnya, seperti dilansir dari nu.or.id, Kiai Cholil tertarik juga di politik, dan ia memiliki parodi yang sangat mendalam tentang NU dalam politik. Parodinya yang sering dikutip berbunyi, “NU itu sering diidoni (diludahi).”
2. Kisah Unik Saat Mengisi Pengajian
Meski akhirnya Kiai Cholil aktif di organisai dan juga politik, ia tetap memenuhi kewajibannya sebagai pendakwah. Yakni tetap melayani para umat untuk memberikan pengajian. Petuah-petuahnya selalu dinanti-nanti oleh para umat dan terutama dari kalangan nahdliyin.
Ada kisah menarik saat beliau mengisi sebuah pengajian di suatu daerah. Cerita ini dikisahkan oleh Gus Bisri Adib Hattani, keponakan KH. Cholil Bisri. Suatu hari, pada masa PKB belum berdiri, Mbah Cholil diundang menjadi pembicara dalam suatu pengajian di Ponpes yang diasuh KH Dimyati Rois, di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.
Sebagaimana berlaku dalam aturan protokoler di pondok Kaliwungu tersebut, jika ada kiai naik panggung, harus dikawal anggota Banser sejak beranjak dari kursi tamu sampai ke atas pangung. Dan si Banser harus berdiri selama sang pembicara berpidato.
Protokol itu pun berlaku kepada Mbah Cholil. Begitu pembaca acara mempersilakan beliau memberikan mauidhah hasanah, seorang Banser langsung berdiri tegap dengan sikap sempurna di depan beliau.
3. Seorang Banser Pengawal Kiai Cholil
Tangan diangkat ke kening, menghormat ala militer, lalu menawarkan tangannya untuk menggandeng Mbah Cholil. Yang ingin digandeng tidak bersedia.Kiai Cholil bangkit sendiri dan berjalan ringan menuju pangung.
Si Banser pun berjalan di belakangnya dengan langkah formal khas militer. Lalu, begitu sang pembicara telah tepat berdiri di depan podium yang telah dipasangi microfon, si Banser pun berdiri dengan sikap istirahat di belakangnya.
Badan tetap tegap, mata lurus menatap ke depan agak mendongak, tangan diselempangkan di belakang pinggang.
Tanpa dinyana si Banser, Mbah Cholil yang telah memegang mic tidak mengucap salam untuk memulai pidatonya. Malah berbalik arah memandangi si Banser.
Spontan hadirin tersenyum-senyum. Lalu meledak tawa saat melihat si Banser salah tingkah. Tubuhnya tetap tegak diam, tetapi raut mukanya tegang . Campur baur antara tersipu malu dan bangga dipandangi oleh kyai dalam jarak yang begitu dekat.
4. Kiai Cholil Memuji Ketampanan Banser, yang Dipuji malah Pingsan
Hadirin tambah terpingkal pingkal kala Kiai Cholil tersenyum lalu menggelengkan kepala, tanda mengagumi si Banser. Tentu saja si Banser tambah tegang. Keringat dingin sebesar biji jagung menetes deras di pipinya. Bahkan lalu mengalir dari dua pelipisnya, kanan kiiri. Jambang dan jenggotnya yang tipis pun jadi basah oleh lelehan keringat dingin itu.
Situasi menjadi semakin rumit karena Mbah Cholil berlama-lama memandangi wajah di Banser. Blingsatan tak karuan dia. Suara hatinya mungkin ingin menundukkan kepala, lalu membungkukkan badan dan segera mencium tangan sang kyai di depannya itu.
Tapi karena dia berposisi sebagai Banser yang menjalankan tugas protokoler, tak ada yg bisa dia lakukan selain tetap di posisinya tanpa bergerak.
Hadirin seolah lupa bahwa mbah Cholil akan berpidato. Mereka justru menikmati pemandangan jenaka itu, terpingkal pingkal menertawakan ketegangan yang dialami si Banser yang sedang dikerjai.
Sampai akhirnya, Mbah Cholil berkata: “Gantheng tenan Banser iki”… (Tampan betul Banser ini).
Seketika lunglailah tubuh si Banser. Di puncak ketegangannya itu, dia bagai disambar geledek kala dipuji ketampanannya, pingsan.
Bukannya bergegas menolong, panitia maupun hadirin malah bertambah keras tertawanya.
“Hahahaa…. Gerrr…Hahaha”…..
Si Banser yang pingsan itu dibiarkan saja tergeletak, Mbah Cholil lantas pidato sesuai topik yang digelar malam itu.
Tidak diceritakan, apakah si Banser segera siuman dan kembali berdiri di panggung mengawal kiai Cholil atau tidak.
Gus Adib menceritakan ini, sesuai dengan apa yang dilansir dalam beritasantri.net. Diceritakan kepada Kang Ichwan (penulis) usai mengikuti Bahsul Masail PWNU Jateng di Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin Leteh, Rembang, Senin (01/05/2017) malam.
(abdul mufid/nf)
Usulan Aturan Ikhbar Sebelum Isbat Awal Bulan Hijriah oleh Bahtsul Masail Lampung
Amalan untuk Menjadi Kaya dan Sukses dari Usaha Toko Menurut Buya Yahya
Bagaimana cara mudah membuka Windows File Explorer tanpa ribet?
Cara Mengatasi Mimpi Gigi Copot Menurut Al-Quran: Panduan Lengkap
Gelar Profesor Santri Jebolan Kairo: Awal Tanggung Jawab Besar
Dalam hal percintaan, Libra akan merasakan kebahagiaan dan keharmonisan. Bagi yang lajang, peluang untuk bertemu seseorang yang spesial sangat besar, sementara yang sudah berpasangan akan mengalami momen romantis yang memperkuat hubungan.