Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Berdampak Fatal, Komisi X Mendorong Kemendikbud untuk Melakukan Evaluasi

Seorang ibu berinisial LH (26) dengan tega membunuh anak kandungnya sendiri di rumah kontrakannya di Kecamatan Larangan, Kota Tangerang. LH melakukan tindakan tersebut karena anaknya sulit diajarkan saat belajar online. Korban yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar (SD) mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya secara online.

LH dan suaminya kemudian menguburkan jasad anak kandungnya di sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di kawasan Lebak Banten untuk menutupi perbuatannya. Kasus yang menyedihkan ini menunjukkan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dapat memiliki dampak negatif dan memerlukan penanganan yang lebih serius dari pemangku kepentingan.

Kasus ini tentu saja menarik perhatian banyak orang, termasuk Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI. Menurut Syaiful Huda, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Dinas Pendidikan (Disdik) di seluruh Indonesia harus memantau pelaksanaan PJJ dengan lebih baik mengingat banyaknya kendala yang dapat menimbulkan tekanan psikis bagi siswa, orang tua siswa, dan guru.

"Kasus pembunuhan anak oleh seorang ibu yang kesal akibat anak kesulitan mengikuti PJJ harus menjadi peringatan keras bagi kita semua," ujar Syaiful Huda dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/9).

Syaiful Huda menyadari bahwa PJJ memiliki banyak kendala, seperti rendahnya literasi digital di sebagian besar ekosistem pendidikan nasional, keterbatasan kuota data, belum solidnya metode PJJ, serta ketidakmerataan sinyal internet di berbagai wilayah Indonesia. Kendala-kendala ini menciptakan tekanan psikologis yang signifikan bagi para siswa, guru, dan orang tua siswa.

Kondisi sosial-ekonomi yang semakin berat akibat pandemi Covid-19 juga memperparah kendala-kendala tersebut. Banyak orang tua siswa yang mengalami pemutusan hubungan kerja, pemotongan gaji, dan hilangnya kesempatan berusaha, sehingga beban hidup semakin berat.

"Maka bisa jadi berbagai tekanan tersebut menciptakan ledakan emosional jika dipicu hal-hal yang terkesan sepele seperti anak yang tidak cepat mengerti saat melakukan pembelajaran jarak jauh," ungkap Syaiful Huda.

Syaiful Huda juga berharap agar pihak sekolah memberikan pemahaman kepada para guru dan orang tua siswa mengenai penurunan beban kompetensi dasar yang harus dipenuhi siswa selama proses Pembelajaran Jarak Jauh berlangsung.

"Pada praktik PJJ selama ini, guru hanya memberikan beban berupa hapalan dan tugas menjawab pertanyaan begitu saja kepada siswa. Kondisi ini membuat orang tua siswa sering kali mengalami stres karena harus mengirimkan tugas tersebut melalui video atau gambar kepada guru. Seharusnya pola ini tidak lagi terjadi karena sudah ada modul-modul PJJ yang disediakan oleh Kemendikbud," tutur Syaiful Huda.